Manajemen sumberdaya manusia
merupakan salah satu instrumen penting bagi organisasi dalam mencapai tujuannya
sehingga perlu ada sinkronisasi antara pengelolan SDM dengan pencapaian visi organisasi. Bagi
sektor publik, fungsi manajemen SDM adalah optimalisai potensi SDM aparatur
pemerintah secara efektif dan efisien dengan penerapan fungsi- fungsi lain,
meliputi perencanaan SDM, rekrutmen, seleksi, stafing, remunerasi, penilain kinerja, evaluasi dan fungsi lainnya.
SDM sektor publik di Indonesia dituntut untuk lebih dinamis dalam merespon
perubahan lingkungan dan pergeseran manajemen SDM di Indonesia sebagai akibat
dari globalisasi, perubahan teknologi, tingkat pendidikan, perubahan paradigma new public management, perubahan dari
segi ekonomi, sosial dan politik, agenda privatisasi serta semakin dinamisnya
manajemen SDM sektor privat.
Aparatur Sipil Negara (ASN) yang
terdiri dari Pegawai Negeri Sipil dan pegawai pemerintah merupakan pilar utama
dalam pemerintahan dan posisinya mempunyai peran fundamental dalam agenda
reformasi birokrasi. Birokrasi yang baik sangat dipengaruhi oleh sumberdaya
manusia sektor publik yang bekerja di dalamnya sehingga birokrasi harus mampu
melenggarakan sistem manajemen SDM sektor publik yang lebih menekankan fungsi strategis daripada fungsi administratif saja. Pelaksanaan
manajemen Aparatur Sipil Negara saat ini masih dinilai belum berdasarkan pada
perbandingan yang sesuai antara kompetensi dan kualifikasi, serta kompensasi. Untuk
mewujudkan ASN sebagai bagian dari reformasi birokrasi, perlu ditetapkan
prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen ASN sehingga ditetapkanlah Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Aparatur sipil negara sebagai
penyelenggara pemerintahan mempunyai hak dan kewajiaban yang diatur dalam Undang-
Undang ASN. Berdasarkan Undang- Undang No. 5 tahun 2014 Pasal 21 dan 22,
aparatur sipil negara, baik Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun PPPK (Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) mempunyai beberapa hak, salah satunya
adalah untuk memperoleh pengembangan kompetensi. Terkait pengembangan
kompetensi, Undang- Undang ASN membahasnya dalam paragraf ke 4 pasal 70 yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
70
(1) Setiap
Pegawai ASN memiliki hak dan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi.
(2) Pengembangan
kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain melalui pendidikan
dan pelatihan, seminar, kursus dan penataran.
(3) Pengembangan
kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dievaluasi oleh Pejabat
yang Berwenang dan digunakan sebagai salah satu dasar dalam pengangkatan
jabatan dan pengembangan karir.
(4) Dalam
mengembangkan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap Instansi
Pemerintah wajib menyusun rencana pengembangan kompetensi tahunan yang tertuang
dalam rencana kerja anggaran tahunan
instansi masing- masing.
(5) Dalam
mengembangkan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PNS diberikan
kesempatan untuk melakukan praktek kerja di instansi lain di pusat dan daerah
dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun dan pelaksanaanya dikoordinasikan oleh
LAN dan BKN.
(6) Selain
pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengembangan
kompetensi dapat dilakukan melalui pertukaran antara PNS dengan pegawai swasta
dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun dan pelaksanaannya dikoordinasikan oleh
LAN dan BKN.
Pengembangan SDM berbasis kompetensi
menjadi cukup menarik untuk dianalisis karena perannya yang sangat strategis
dalam menyiapkan SDM sektor publik yang kompeten. Hal ini mengingat jumlah SDM
aparatur atau Pegawai Negeri Sipil yang tidak sedikit. Dari sisi Kuantitatif,
pada tahun 2010 jumlah Pegawai Negeri Sipil di Indonesia sudah mencapai
4.598.100 (lihat: www.bkn.go.id)
atau sekitar 1,94 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih
dari 225 juta jiwa. Dari segi kualitatif, permasalahan terkait kualitatas SDM
aparatur seringkali menjadi sorotan publik. Masyarakat acapkali megeluhkan
kualitas pelayanan dan sikap aparatur yang kurang memuaskan serta kepercayaan
publik yang rendah terhadap kinerja aparatur publik. Berbagai upaya pengembangan
kompetensi telah diterapkan oleh pemerintah, seperti pelatihan prajabatan,
diklat, seminar, workshop, kursus,
penataran dan aktifitas pelatihan lainnya. akan tetapi, pelaksanaan
pengembangan kompetensi PNS di Indonesia
masih dinilai belum berjalan secara maksimal karena masih banyaknya permasalahan yang dijumpai, antara lain:
- -
Kurikulum pelatihan yang belum sesuai
dengan kebutuhan
- -
Evaluasi peserta diklat yang tidak
komprehensif
-
- Dana training yang masih terbatas
- - Pelatihan prajabatan yang belum efektif karena masih terfokur pada loyalitas pegawai, pratiotism dan dasar- dasar ke-PNS an
- - Pelatihan prajabatan yang belum efektif karena masih terfokur pada loyalitas pegawai, pratiotism dan dasar- dasar ke-PNS an
-
- Belum ada database tentang traininng
yang diberiakan kepada Aparatur Sipil Negara.
Berbagai permasalahan ini memerlukan
pemecahan dengan langkah yang strategis dan terukur. Pendekatan legal-formal
yang dilakukan oleh pemerintah yaitu melalui penyusunan Undang- Undang ASN yang
sampai saat ini masih belum diberlakukan dan masih terus digodong. Terkait
pelaksanaan pengembangan kompetensi, Undang- Undang ini masih mempunyai
beberapa kelemahan, antara lain:
Pertama, Undang- Undang ASN masih belum menekankan pada aspek keberlanjutan
pengembangan kompetensi. Undang- Undang ASN terkait pengembangan kompetensi
Aparatur Sipil Negara cenderung berfokus pada nilai-nilai administratif dan normatif
seperti evaluasi serta kewenangan formal untuk melaksanakan pengembangan
kompetensi yang diberikan kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Lembaga
Administrasi Negara (LAN), bukan pada prinsip merit system dan penekanan behavioral.
Secara umum, prinsip-prinsip belajar harus berkaitan dengan (1) Perhatian dan
motivasi; (2) pengulangan (continuity) (3)
relevansi dengan pekerjaan saat ini dan masa mendatang; (3) Partisipasi aktif;
dan (4) adanya feedback, dorongan
serta penguatan positif. Aspek keberlanjutan dinilai sangat penting dalam
pengembangan kompetensi untuk merespon dinamika perubahan lingkungan saat ini.
Stephen (2001)[1]
mengungkapkan competent employees don’t remain
competent forever. Skills deteriorate and can become obsolete”.
Aparatur negara yang kompeten pada
saat ini tidak akan selalu kompeten pada masa mendatang apabila tidak cakap dan
dinamis dalam menyesuaikan diri dengan perubahan, terutama pesatnya perkembangan
IPTEK. Perlu sebuah sistem pengembangan kompetensi aparatur negara yang tidak
hanya menekankan aspek normatif, lebih dari itu, perlu pengembangan kompetensi
aparatur negara yang sifatnya sustainable.
Manajemen SDM sektor publik dituntut untuk menjadi inovatif, tidak selalu
rigid pada sistem lama yang diterapkan.
Kedua, pasal yang mengatur tentang pengembangan kompetensi Aparatur Sipil
Negara masih belum memuat penyusunan need
assessment. Hal ini akan mengakibatkan rendahnya kesesuaian antara kurikulum
pelatihan dengan kebutuhan riil pegawai. Sampai saat ini pelatihan yang
diberikan kepada pegawai belum mampu menjawab permasalahan gap antara kinerja
yang dibutuhkan dengan kondisi eksisting. Pelatihan dan pengembangan yang
diberikan hanya bersifat formalitas dan lebih dimaknai sebagai salah satu batu
loncatan untuk pengembangan karir, bukan pada peningkatan insight, kemampuan, ketrampilan, perilaku serta aspek strategis
lainnya. Lebih jauh lagi, Dubois dan Rothwell (2004) [2] menjelaskan
bahwa: “When training is unplanned, it is
rarely effective, because people can not learn how others perform. When
training is planned, it probably follows an approach based on the instructional
system design model (ISD). The ISD model, which is a traditional training
approach, has several important features in common with competency based
training”.
Pelatihan dan pengembangan kompetensi tanpa
adanya perencanaan yang matang akan mengakibatkan timbulnya gap antara masing-
masing peserta yang terlibat. Perencaan pelatihan dan pengembangan kompetensi
dengan penerapan need assessment diperlukan untuk menglasifikasikan derajat
kepentingan dan kebutuhan aparatur sipil negara terhadap pelatihan dan
pengembangan yang akan diperolehnya. Menurut Robert Mager[3]
kebutuhan training diperoleh dengan mengidentifikasi kesenjangan antara kinerja
optimal yang dibutuhkan dengan kinerja aktual atau kondisi eksisting pegawai.
Pelatihan dan pengembangan yang diterapkan pada aparatur negara saat ini masih
jalan ditempat pada kurikulum yang sudah dipahami dan dikuasai oleh aparatur
sipil negara. Need assessment juga
perlu mengidentifikasi kesenjangan kompetensi tersebut berasal dari SDM yang
“tidak cakap” atau “tidak mau”. Pelaksanaan pelatihan dan pengembangan
kompetensi bukanlah suatu produk bisa diberikan dengan sasaran yang dipukul
rata. Perlu ada need assessment sebagai
landasan dan input dari pengembangan kompetensi aparatur sipil negara yang
didukung oleh training database yang
valid dan komprehensif. Dalam Undang- Undang
ASN pasal 70 memang sudah disebutkan bahwa setiap Instansi Pemerintah
wajib menyusun rencana pengembangan kompetensi tahunan yang tertuang dalam rencana kerja anggaran tahunan instansi
masing- masing. Akan tetapi analisisnya yang masih menyatu dengan Renja
instansi akan mengakibatkan lemahnya analisis yang dibuat sehingga perlu adanya
analisis perencanaan pengembangan kompetensi yang sifatnya terpisah dan lebih
komprehensif.
Ketiga, fungsi evaluasi efektifitas
pengembangan kompetensi belum mempunyai ukuran yang jelas serta kewenangan
terhadap evaluasi dinilai belum objektif karena masih dipegang oleh pejabat
aparatur negara. Dalam ayat (3) disebutkan bahwa “Pengembangan kompetensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dievaluasi oleh Pejabat yang Berwenang
dan digunakan sebagai salah satu dasar dalam pengangkatan jabatan dan
pengembangan karir”. Ayat ini sifatnya masih sangat mengambang, evaluasi yang
dimaksud apakah terkait dengan evaluasi sebagai input perencanaan pelatihan
atau evaluasi pasca pelatihan. Aktifitas evaluasi sebaiknya sifatnya
komprehensif, dari awal, ketika proses berlangsung dan pasca pelatihan.
Evaluasi pengembangan kompetensi merupakan salah satu instrumen penting dalam
mewujudkan pelatihan dan pengembangan berbasis kompetensi sehingga sebaiknya menerapkan
sistem grading dengan tolok ukur yang
jelas. Menurut Pynes (2004)[4]
ukuran efektifitas training adalah:
a.
Feedback
peserta terhadap program pelatihan, ex:
tingkat kepuasan
b.
Pegaruh pelatihan pada peningkatan
pengetahuan, ketrampilan, kemampuan dan komponen lain yang dinilai penting
c.
Perubahan perilaku yang terjadi pasca
pelatihan
d.
Dampak pelatihan pada organisasi.
Penerapan
sistem grading dalam perencanaan
pengembangan kompetensi bagi Aparatur Sipil Negara dimaksudkan untuk menentukan
sasaran pengembangan kompetensi yang tepat dan sesuai dengan kompetensi yang
dimiliki. Peserta pengembangan kompetensi juga harus memberikan feedback agar upaya pengembangan yang
berikan tidak berjalan satu arah saja, serta dapat dijadikan input bagi
perencanaan pengembangan komptensi selanjutnya.
Keempat,
aturan
tentang sistem exchange yang
dijelaskan dalam ayat (6) masih belum memuat dasar pemikiran dan ukuran yang
jelas. Dalam Undang- Undang No. 5 tahun 2014 pasal 70 ayat (6) dijelaskan bahwa
pengembangan kompetensi dapat dilakukan melalui pertukaran antara PNS dengan
pegawai swasta dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun dan pelaksanaannya
dikoordinasikan oleh LAN dan BKN. Pertukaran antara PNS dengan pegawai swasta
bukan suatu proses yang mudah karena perbedaan atmosfir kerja yang sangat
kontras antara sektor privat dan publik. Merujuk pada studi reformasi birokrasi
di Korea, Pan S. Kim[5] menyebutkan
bahwa:
while
the institutionalization of personnel exchange between government and business
is intended to foster the development of human resources, proper care must be
taken regarding potential problem. Perlu ada perbandingan
kompetensi yang seimbang antara SDM aparatur negara yang akan di switch dengan SDM sektor privat. Disamping
itu, lokus organisasi yang terlibat dalam sistem exchange juga harus
seimbang, sehingga ketimpangan yang muncul tidak terlalu kontras. Dalam hal
ini, belum disebutkan peraturan teknis dan lanjutan terkait petukaran pegawai
antara sektor publik dan sektor privat. Lebih lanjut, Pan S. Kim[6]
menjelaskan bahwa exchange antara
pegawai sektor publik dan sektor privat bukan hanya terkait konektifitas yang
baru, pertukaran SDM dan informasi akan tetapi lebih pada penerapan best practice dan ide- ide yang bisa fit dan dapat diterapkan di sektor
publik.
Kelima, terkait wewenang dalam
melaksanakan fungsi pelatihan dan pengembangan kompetensi SDM aparatur publik,
ada sedikit overlaping fungsi dan
wewenang Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN). BKN
sebagai Lembaga Pemerintah Non- kementerian mempunyai wewenang untuk melakukan
pembinaan dan menyelenggarakan manajemen ASN secara nasioanal, mulai dari
fungsi rekrutmen sampai pensiun, sedangkan LAN yang juga mempunyai posisi
sejajar dengan BKN sebagai salah satu LPNK menurut Undang- Undang ASN mempunyai
kewenangan melakukan pengkajian pendidikan dan pelatihan Aparatur Sipil Negara
sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ASN. Fungsi Pelatihan dan pengembangan
kompetensi SDM aparatur pemerintah menjadi kewenangan LAN. Disamping itu, BKN
juga mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan Aparatur Sipil Negara. Sampai
saat ini pembinaan kepegawaian dilakukan oleh BKN dan pembinaan diklat pimti
dilakukan oleh LAN.
Secara garis besar, fungsi pelatihan
dan pengembangan kompetensi aparatur sipil negara yang diatur dalam Undang-
Undang ASN sudah mengarah pada penekanan kompetensi SDM, dimana kewenangan atas
fungsi pelatihan dan pengembangan kompetensi SDM dikoordinasikan oleh BKN dan
LAN. Akan tetapi, secara substansial kebijakan terkait pengembangan kompetensi
dalam Undang- Undang ASN masih mempunyai beberapa kelemahan, yaitu pada aspek
keberlanjutan, need assessment, ukuran
efektifitas pelatihan dan pengembangan kompetensi, standardisasi sistem exchange, dan kewenangan LAN dan BKN
terkait fungsi pelatihan dan pengembangan SDM aparatur publik.
Secara keseluruhan, Undang- Undang
ASN sebagai salah satu instrumen legal formal dalam reformasi birokrasi di
Indonesia sudah meletakkan prinsip- prinsip merit
system, akan tetapi upaya ini tidak akan berjalan maksimal tanpa ada ukuran
capaian yang jelas. Masing- masing fungsi dalam manajemen SDM aparatur
pemerintah harus saling terkait dan sinergis untuk mewujudkan birokrasi yang
efektif dan inovatif. Ketika menyusun perencanaan rekrutmen, pemerintah harus
sudah menyiapkan paket- paket kebijakan lain yang saling terkait dengan
pendekatan manajemen strategis, bukan lagi pendekatan administratif. Birokrasi
di Indonesia harus mulai meninggalkan paradigma lama yang lebih menyibukkan
diri pada personnel administration (administrasi
kepegawaian) dan harus memaksimalkan potensi SDM di dalamnya sebagai aset dan
kekuatan institusi publik.
Dalam menyusun perencanaan pelatihan
dan pengembangan kompetensi pegawai, sangat diperlukan adanya koordinasi yang
sinergis antara bagian yang ada dalam organisasi, terutama untuk memberikan
input informasi kinerja pegawai yang merujuk pada kebutuhan akan pelatihan dan
pengembangan. Dengan pelatihan dan pengembangan kompetensi ASN yang terencana
secara baik dan benar, maka birokrasi
akan memiliki pegawai yang telah ter-upgrade
kompetensinya dan pegawai yang benar- benar membutuhkan pengembangan
kompetensi sesuai dengan porsinya. Pelatihan dan pengembangan kompetensi SDM
aparatur pemerintah harus benar- benar menjadi instrumen untuk memperbaiki dan
meningkatkan pengetahuan, ketrampilan
dan sikap perilaku Aparatur Sipil Negara.
[1] Dalam
Jui- Lan Wu, The Study of Competency- Based Training and Strategies in the
Public Sector: Experience from
Thaiwan, SAGE, 42 (2) 259-271
[2] Dalam Jui- Lan Wu, The Study of
Competency- Based Training and Strategies in the Public Sector: Experience from Thaiwan, SAGE, 42 (2) 259-271
[5] Pan S. Kim, Human Resource
Management Reform in the Korean Civil Service, Administrative Theory & Practice, Vol. 22, No. 2, 2000:
326-344.
[6] Pan S. Kim, Human Resource Management
Reform in the Korean Civil Service, Administrative
Theory & Practice, Vol. 22, No. 2, 2000:
326-344.
Daftar
Pustaka:
Kim,
Pan. S, Human Resource Management Reform in the Korean Civil Service, Administrative
Theory & Practice, Vol. 22, No. 2, 2000: 326-344.
Wu,
Jui- Lan, The Study of Competency- Based Training and Strategies in the Public
Sector: Experience from Thaiwan, SAGE, 42 (2) 259-271..
Internet & Referensi lain:
Ely
Susanto, Materi kuliah MSDM Sektor Publik: Training dan Pengembangan, 2016
www.bkn.go.id
, diakses pada 14 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar