Oleh: Nurul Hidayah
Seiring perkembangan jaman serta
semakin pesatnya peradaban yang berdampak pada globalisasi dalam seluruh aspek
kehidupan manusia, setiap negara di belahan dunia dituntut untuk semakin
lincah dalam melakukan pembangunan agar
lebih kompetitif dalam derasnya arus persaingan internasional serta untuk
menunjukkan eksistensinya di kancah internasional maupun untuk menunjang
pembangunan berkelanjutan (sustainability
development). Pembangunan dipahami sebagai suatu konsep yang komprehensif
terhadap segala sektor, yaitu sektor ekonomi, sosial,hukum, politik, budaya,
sosial dan sektor krusial lainnya.
Pemahaman terhadap pembangunan
seringkali diidentikkan dengan pembangunan ekonomi, karena unsur ekonomi memang
menentukan kelancaran proses pembangunan melalui ketersediaan risorsis-
risorsis ekonomi. Konsep GNP (Gross
National Product) dan GDP (Gross
Domestic Product) belum cukup untuk melihat sejauh mana pembangunan ekonomi
suatu negara. Todaro dalam Lincolin Arsyad (2005) mengatakan bahwa keberhasilan
pembangunan ekonomi ditandai oleh 3 nilai pokok, yaitu (1) berkembangnya
kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, (2) menigkatnya rasa
harga diri masyarakat sebagai manusia, serta (3) meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk memilih, yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia.
Bahkan PBB menempatkan penghapusan kemiskinan dan kelaparan pada urutan pertama
dalam Millenium Development Goals
(MDGs) yang dicanangkan pada tahun 2000, yang memuat delapan tujuan pembangunan
milenium.
Di era desentralisasi dewasa ini,
masalah perekonomian menjadi salah satu permasalahan mendasar yang dijadikan
pertimbangan serta arahan- arahan kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah
daerah, terutama jika dikaitkan dengan desentralisasi fiskal. Daerah otonom
mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengelola rumah tangganya sendiri,
termasuk juga terkait perekonomian daerah. Sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, bahwa melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu
meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan
keadilan, keistimewaaan dan kekhususan, serta potensi dan keanekaragaman
daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Problem dalam pembangunan perekonomian
daerah seringkali dikaitkan dengan tingginya angka kemiskinan. Kemiskinan masih
bertengger sebagai salah satu masalah yang sangat berpengaruh terhadap
kesejahteraan serta keberlangsungan hidup masyarakat. Daerah otonom dituntut
mampu mengoptimalkan potensi- potensi daerah yang dimiliki, sehingga daerah tersebut lebih mandiri dan mempunyai
daya saing tinggi dalam menghadapi tantangan di dunia global. Lincolin Arsyad
(2005) menjelaskan bahwa masalah pokok yang terjadi dalam proses pembangunan
daerah terletak pada penekanan terhadap kebijakan- kebijakan pembangunan yang
didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi sumber daya
manusia, kelembagaan dan sumber daya fisik secara lokal.
Berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik Pusat pada tahun 2010, sebanyak 10,72 persen dari penduduk indonesia,
hidup dibawah garis kemiskinan di daerah perkotaan sedangkan persentase
penduduk miskin di daerah pedesaan jumlahnya hampir dua kali lipat, yaitu 17,35
persen. Penduduk miskin di pedesaan mayoritas adalah masyarakat dengan mata
pencaharian sebagai petani. Sektor pertanian memang sektor yang paling banyak
menyerap tenaga kerja, apalagi jika dikaitkan dengan tingginya tenaga kerja
dengan tingkat pendidikan yang masih rendah. Melihat perbandingan jumlah
masyarakat miskin yang hidup di daerah pedesaan dengan di daerah perkotaan,
masalahnya justru kenapa kebijakan yang diambil pemerintah lebih banyak
berorientasi pada sektor- sektor manufaktur di daerah perkotaan. Perhatian
pemerintah untuk pengentasan kemiskinan masih terlihat parsial, dan kurang
tepat sasaran. Sektor pertanian seringkali dipandang sebelah mata, padahal
fakta empiriknya justru angka kemiskinan tertinggi ada pada masyarakat yang
bergelut di sektor ini.
Pembangunan daerah
berbasis kebijakan yang pro-poor
harus melihat substansi masalah yang benar- benar terjadi di lapangan. Apabila
pemerintah ingin mengentaskan angka kemiskinan, maka hendaknya dilihat angka
kemiskinan paling banyak berada di titik mana, karena seringkali pemerintah
merumuskan masalah yang salah daripada menerapkan solusi yang salah, sehingga
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah seringkali salah sasaran. Berdasarkan konsideran
Pasal 6 TAP MPR dalam Isran Noor (2012) Dijelaskan bahwa pengelolaan sumber
daya agraria dan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan, dan ramah
lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu dan menampung
dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik;
Untuk meningkatkan produktivitas dan daya
saing dari sektor pertanian maka dibutuhkan kolaborasi yang sinergis antara
sektor pertanian dan sektor industri yaitu melalui pembangunan dan perluasan
agroindustri. Kolaborasi dengan sektor industri melalui industrialisasi akan
meningkatkan nilai tambah bagi hasil- hasil pertanian serta dapat menyerap
tenaga kerja. Diperlukan pembangunan agroindustri yang berbasis kerakyatan, yang
sepenuhnya berorientasi pada masyarakat petani, untuk mengoptimalkan hasil
pertanian, serta agar mampu menyerap tenaga kerja untuk mengurangi angka
pengangguran, sehingga Pemerintah Daerah punya andil yang cukup besar dalam
menentukan arahan kebijakan terkait pembangunan serta pengembangan sektor
agroindustri.
World
Development Report (WDR) dari Bank Dunia menyatakan bahwa
pembangunan pada sektor pertanian merupakan alternatif sekaligus strategi
terbaik untuk mengentaskan kemiskinan di daerah pedesaan di negara- negara
berkembang. WDR juga menyatakan bahwa pembangunan serta perbaikan- perbaikan
pengelolaan pada sektor pertanian merupakan cara yang paling efektif untuk
peningkatan income petani miskin di
pedesaan. Lebih jauh lagi, Soekartawi (2000) menjelaskan bahwa pembangunan
agroindustri sebagai salah satu lanjutan dari pembangunan pertanian. Strategi
pembangunan pertanian yang berwawasan agroindustri merupakan suatu upaya yang
sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan, yaitu menarik dan mendorong
munculnya industri baru di sektor pertanian, menciptakan struktur perekonomian
yang tangguh, efisien, dan fleksibel, menciptakan nilai tambah, meningkatkan
lapangan pekerjaan, dan memperbaiki pembagian pendapatan masyarakat.
Salah satu perspektif dalam perkonomian
nasional, dimana dikatakan bahwa pertanian layak dijadikan sektor andalan dalam
perekonomian nasional. Faisal Kasryno dan Nizwar Syafaat (2000) lebih jauh menjelaskan
bahwa perspektif pertanian sebagai sektor andalan perekonomian nasional dapat
dilihat dari kelayakannya sebagai sektor andalan. Dijelaskan pula kriteria
suatu sektor dapat menjadi sektor andalan yaitu: (1) Tangguh; (2) Progresif;
(3) Strategis; (4) Artikulatif dan (5) Artikulatif.
Pembangunan di sektor agroindustri
melalui kebijakan- kebijakan pemerintah yang berorientasi pada para petani
kecil diharapkan dapat membantu memecahkan masalah kemiskinan. Kebijakan
tersebut bukan hanya dalam bentuk blue
print saja, akan tetapi harus diimplementasikan dalam suatu program yang
terencana serta melibatkan seluruh stakeholder
yang menjadi sasaran kebijakan. Melalui adanya intervensi Pemerintah Daerah
dalam pengembangan sektor agroindustri, diharapkan dapat membantu percepatan
pembangunan sektor agroindustri serta percepatan dalam penyerapan tenaga kerga
di Kabupaten Pacitan, karena sektor pertanian mampu menampung tenaga kerja
dengan jumlah yang banyak, terutama bagi masyarakat di pedesaan dengan tingkat
pendidikan yang masih cukup rendah.
Daftar Pustaka:
Arsyad,
Lincolin. 2005. Pengantar Perencanaan
Ekonomi Daerah, BPFE- Yogyakarta:
Yogyakarta.
Kasryno,
Faisal dan Nizwar Syafa’at. 2002. Perspektif
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Dalam
Era Otonomi Daerah, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Departemen
Pertanian dan Kehutanan : 2000.
Noor, Isran.
2012. Politik Otonomi Daerah Untuk
Penguatan NKRI, Jakarta: Seven
Strategic Studies.
Soekartawi.
2000. Pengantar Agroindustri, Raja Grafindo Persada : Jakarta.
UU
No 32 Tahun 2004