Senin, 25 April 2016

Analisis Kebijakan Pengembangan Kompetensi ASN dalam UU No. 05 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara


 
     Manajemen sumberdaya manusia merupakan salah satu instrumen penting bagi organisasi dalam mencapai tujuannya sehingga perlu ada sinkronisasi antara pengelolan SDM  dengan pencapaian visi organisasi. Bagi sektor publik, fungsi manajemen SDM adalah optimalisai potensi SDM aparatur pemerintah secara efektif dan efisien dengan penerapan fungsi- fungsi lain, meliputi perencanaan SDM, rekrutmen, seleksi, stafing, remunerasi, penilain kinerja, evaluasi dan fungsi lainnya. SDM sektor publik di Indonesia dituntut untuk lebih dinamis dalam merespon perubahan lingkungan dan pergeseran manajemen SDM di Indonesia sebagai akibat dari globalisasi, perubahan teknologi, tingkat pendidikan, perubahan paradigma new public management, perubahan dari segi ekonomi, sosial dan politik, agenda privatisasi serta semakin dinamisnya manajemen SDM sektor privat.
      Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terdiri dari Pegawai Negeri Sipil dan pegawai pemerintah merupakan pilar utama dalam pemerintahan dan posisinya mempunyai peran fundamental dalam agenda reformasi birokrasi. Birokrasi yang baik sangat dipengaruhi oleh sumberdaya manusia sektor publik yang bekerja di dalamnya sehingga birokrasi harus mampu melenggarakan sistem manajemen SDM sektor publik yang lebih menekankan fungsi  strategis daripada fungsi administratif saja. Pelaksanaan manajemen Aparatur Sipil Negara saat ini masih dinilai belum berdasarkan pada perbandingan yang sesuai antara kompetensi dan kualifikasi, serta kompensasi. Untuk mewujudkan ASN sebagai bagian dari reformasi birokrasi, perlu ditetapkan prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen ASN sehingga ditetapkanlah Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
        Aparatur sipil negara sebagai penyelenggara pemerintahan mempunyai hak dan kewajiaban yang diatur dalam Undang- Undang ASN. Berdasarkan Undang- Undang No. 5 tahun 2014 Pasal 21 dan 22, aparatur sipil negara, baik Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) mempunyai beberapa hak, salah satunya adalah untuk memperoleh pengembangan kompetensi. Terkait pengembangan kompetensi, Undang- Undang ASN membahasnya dalam paragraf ke 4 pasal 70 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 70
(1)     Setiap Pegawai ASN memiliki hak dan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi.
(2)     Pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain melalui pendidikan dan pelatihan, seminar, kursus dan penataran.
(3)     Pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dievaluasi oleh Pejabat yang Berwenang dan digunakan sebagai salah satu dasar dalam pengangkatan jabatan dan pengembangan karir.
(4)     Dalam mengembangkan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun rencana pengembangan kompetensi tahunan yang tertuang  dalam rencana kerja anggaran tahunan instansi masing- masing.
(5)     Dalam mengembangkan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PNS diberikan kesempatan untuk melakukan praktek kerja di instansi lain di pusat dan daerah dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun dan pelaksanaanya dikoordinasikan oleh LAN dan BKN.
(6)     Selain pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengembangan kompetensi dapat dilakukan melalui pertukaran antara PNS dengan pegawai swasta dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun dan pelaksanaannya dikoordinasikan oleh LAN dan BKN.
            Pengembangan SDM berbasis kompetensi menjadi cukup menarik untuk dianalisis karena perannya yang sangat strategis dalam menyiapkan SDM sektor publik yang kompeten. Hal ini mengingat jumlah SDM aparatur atau Pegawai Negeri Sipil yang tidak sedikit. Dari sisi Kuantitatif, pada tahun 2010 jumlah Pegawai Negeri Sipil di Indonesia sudah mencapai 4.598.100 (lihat: www.bkn.go.id) atau sekitar 1,94 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 225 juta jiwa. Dari segi kualitatif, permasalahan terkait kualitatas SDM aparatur seringkali menjadi sorotan publik. Masyarakat acapkali megeluhkan kualitas pelayanan dan sikap aparatur yang kurang memuaskan serta kepercayaan publik yang rendah terhadap kinerja aparatur publik. Berbagai upaya pengembangan kompetensi telah diterapkan oleh pemerintah, seperti pelatihan prajabatan, diklat, seminar, workshop, kursus, penataran dan aktifitas pelatihan lainnya. akan tetapi, pelaksanaan pengembangan kompetensi PNS di Indonesia  masih dinilai belum berjalan secara maksimal karena masih banyaknya  permasalahan yang dijumpai, antara lain:

-         -      Kurikulum pelatihan yang belum sesuai dengan kebutuhan
-         -     Evaluasi peserta diklat yang tidak komprehensif
-         -  Dana training yang masih terbatas
-   - Pelatihan prajabatan yang belum efektif karena masih terfokur pada loyalitas pegawai, pratiotism dan    dasar- dasar ke-PNS an
-          - Belum ada database tentang traininng yang diberiakan kepada Aparatur Sipil Negara.
    Berbagai permasalahan ini memerlukan pemecahan dengan langkah yang strategis dan terukur. Pendekatan legal-formal yang dilakukan oleh pemerintah yaitu melalui penyusunan Undang- Undang ASN yang sampai saat ini masih belum diberlakukan dan masih terus digodong. Terkait pelaksanaan pengembangan kompetensi, Undang- Undang ini masih mempunyai beberapa kelemahan, antara lain:
       Pertama, Undang- Undang ASN masih belum menekankan pada aspek keberlanjutan pengembangan kompetensi. Undang- Undang ASN terkait pengembangan kompetensi Aparatur Sipil Negara cenderung berfokus pada nilai-nilai administratif dan normatif seperti evaluasi serta kewenangan formal untuk melaksanakan pengembangan kompetensi yang diberikan kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN), bukan pada prinsip merit system dan penekanan behavioral. Secara umum, prinsip-prinsip belajar harus berkaitan dengan (1) Perhatian dan motivasi; (2) pengulangan (continuity) (3) relevansi dengan pekerjaan saat ini dan masa mendatang; (3) Partisipasi aktif; dan (4) adanya feedback, dorongan serta penguatan positif. Aspek keberlanjutan dinilai sangat penting dalam pengembangan kompetensi untuk merespon dinamika perubahan lingkungan saat ini. Stephen (2001)[1] mengungkapkan competent employees don’t remain competent forever. Skills deteriorate and can become obsolete”.          
       Aparatur negara yang kompeten pada saat ini tidak akan selalu kompeten pada masa mendatang apabila tidak cakap dan dinamis dalam menyesuaikan diri dengan perubahan, terutama pesatnya perkembangan IPTEK. Perlu sebuah sistem pengembangan kompetensi aparatur negara yang tidak hanya menekankan aspek normatif, lebih dari itu, perlu pengembangan kompetensi aparatur negara yang sifatnya sustainable. Manajemen SDM sektor publik dituntut untuk menjadi inovatif, tidak selalu rigid pada sistem lama yang diterapkan.
          Kedua, pasal yang mengatur tentang pengembangan kompetensi Aparatur Sipil Negara masih belum memuat penyusunan need assessment. Hal ini akan mengakibatkan rendahnya kesesuaian antara kurikulum pelatihan dengan kebutuhan riil pegawai. Sampai saat ini pelatihan yang diberikan kepada pegawai belum mampu menjawab permasalahan gap antara kinerja yang dibutuhkan dengan kondisi eksisting. Pelatihan dan pengembangan yang diberikan hanya bersifat formalitas dan lebih dimaknai sebagai salah satu batu loncatan untuk pengembangan karir, bukan pada peningkatan insight, kemampuan, ketrampilan, perilaku serta aspek strategis lainnya. Lebih jauh lagi, Dubois dan Rothwell (2004) [2] menjelaskan bahwa: “When training is unplanned, it is rarely effective, because people can not learn how others perform. When training is planned, it probably follows an approach based on the instructional system design model (ISD). The ISD model, which is a traditional training approach, has several important features in common with competency based training”.
  Pelatihan dan pengembangan kompetensi tanpa adanya perencanaan yang matang akan mengakibatkan timbulnya gap antara masing- masing peserta yang terlibat. Perencaan pelatihan dan pengembangan kompetensi dengan penerapan need assessment  diperlukan untuk menglasifikasikan derajat kepentingan dan kebutuhan aparatur sipil negara terhadap pelatihan dan pengembangan yang akan diperolehnya. Menurut Robert Mager[3] kebutuhan training diperoleh dengan mengidentifikasi kesenjangan antara kinerja optimal yang dibutuhkan dengan kinerja aktual atau kondisi eksisting pegawai. Pelatihan dan pengembangan yang diterapkan pada aparatur negara saat ini masih jalan ditempat pada kurikulum yang sudah dipahami dan dikuasai oleh aparatur sipil negara. Need assessment juga perlu mengidentifikasi kesenjangan kompetensi tersebut berasal dari SDM yang “tidak cakap” atau “tidak mau”. Pelaksanaan pelatihan dan pengembangan kompetensi bukanlah suatu produk bisa diberikan dengan sasaran yang dipukul rata. Perlu ada need assessment sebagai landasan dan input dari pengembangan kompetensi aparatur sipil negara yang didukung oleh training database yang valid dan komprehensif. Dalam Undang- Undang  ASN pasal 70 memang sudah disebutkan bahwa setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun rencana pengembangan kompetensi tahunan yang tertuang  dalam rencana kerja anggaran tahunan instansi masing- masing. Akan tetapi analisisnya yang masih menyatu dengan Renja instansi akan mengakibatkan lemahnya analisis yang dibuat sehingga perlu adanya analisis perencanaan pengembangan kompetensi yang sifatnya terpisah dan lebih komprehensif.
Ketiga, fungsi evaluasi efektifitas pengembangan kompetensi belum mempunyai ukuran yang jelas serta kewenangan terhadap evaluasi dinilai belum objektif karena masih dipegang oleh pejabat aparatur negara. Dalam ayat (3) disebutkan bahwa “Pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dievaluasi oleh Pejabat yang Berwenang dan digunakan sebagai salah satu dasar dalam pengangkatan jabatan dan pengembangan karir”. Ayat ini sifatnya masih sangat mengambang, evaluasi yang dimaksud apakah terkait dengan evaluasi sebagai input perencanaan pelatihan atau evaluasi pasca pelatihan. Aktifitas evaluasi sebaiknya sifatnya komprehensif, dari awal, ketika proses berlangsung dan pasca pelatihan. Evaluasi pengembangan kompetensi merupakan salah satu instrumen penting dalam mewujudkan pelatihan dan pengembangan berbasis kompetensi sehingga sebaiknya menerapkan sistem grading dengan tolok ukur yang jelas. Menurut Pynes (2004)[4] ukuran efektifitas training adalah:
a.              Feedback  peserta terhadap program pelatihan, ex: tingkat kepuasan
b.             Pegaruh pelatihan pada peningkatan pengetahuan, ketrampilan, kemampuan dan komponen lain yang dinilai penting
c.              Perubahan perilaku yang terjadi pasca pelatihan
d.             Dampak pelatihan pada organisasi.
Penerapan sistem grading dalam perencanaan pengembangan kompetensi bagi Aparatur Sipil Negara dimaksudkan untuk menentukan sasaran pengembangan kompetensi yang tepat dan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Peserta pengembangan kompetensi juga harus memberikan feedback agar upaya pengembangan yang berikan tidak berjalan satu arah saja, serta dapat dijadikan input bagi perencanaan pengembangan komptensi selanjutnya.
Keempat, aturan tentang sistem exchange yang dijelaskan dalam ayat (6) masih belum memuat dasar pemikiran dan ukuran yang jelas. Dalam Undang- Undang No. 5 tahun 2014 pasal 70 ayat (6) dijelaskan bahwa pengembangan kompetensi dapat dilakukan melalui pertukaran antara PNS dengan pegawai swasta dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun dan pelaksanaannya dikoordinasikan oleh LAN dan BKN. Pertukaran antara PNS dengan pegawai swasta bukan suatu proses yang mudah karena perbedaan atmosfir kerja yang sangat kontras antara sektor privat dan publik. Merujuk pada studi reformasi birokrasi di Korea, Pan S. Kim[5] menyebutkan bahwa:
while the institutionalization of personnel exchange between government and business is intended to foster the development of human resources, proper care must be taken regarding potential problem. Perlu ada perbandingan kompetensi yang seimbang antara SDM aparatur negara yang akan di switch dengan SDM sektor privat. Disamping itu, lokus organisasi yang terlibat dalam sistem exchange  juga harus seimbang, sehingga ketimpangan yang muncul tidak terlalu kontras. Dalam hal ini, belum disebutkan peraturan teknis dan lanjutan terkait petukaran pegawai antara sektor publik dan sektor privat. Lebih lanjut, Pan S. Kim[6] menjelaskan bahwa exchange antara pegawai sektor publik dan sektor privat bukan hanya terkait konektifitas yang baru, pertukaran SDM dan informasi akan tetapi lebih pada penerapan best practice dan ide- ide yang bisa fit dan dapat diterapkan di sektor publik.
        Kelima, terkait wewenang dalam melaksanakan fungsi pelatihan dan pengembangan kompetensi SDM aparatur publik, ada sedikit overlaping fungsi dan wewenang Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN). BKN sebagai Lembaga Pemerintah Non- kementerian mempunyai wewenang untuk melakukan pembinaan dan menyelenggarakan manajemen ASN secara nasioanal, mulai dari fungsi rekrutmen sampai pensiun, sedangkan LAN yang juga mempunyai posisi sejajar dengan BKN sebagai salah satu LPNK menurut Undang- Undang ASN mempunyai kewenangan melakukan pengkajian pendidikan dan pelatihan Aparatur Sipil Negara sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ASN. Fungsi Pelatihan dan pengembangan kompetensi SDM aparatur pemerintah menjadi kewenangan LAN. Disamping itu, BKN juga mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan Aparatur Sipil Negara. Sampai saat ini pembinaan kepegawaian dilakukan oleh BKN dan pembinaan diklat pimti dilakukan oleh LAN.
         Secara garis besar, fungsi pelatihan dan pengembangan kompetensi aparatur sipil negara yang diatur dalam Undang- Undang ASN sudah mengarah pada penekanan kompetensi SDM, dimana kewenangan atas fungsi pelatihan dan pengembangan kompetensi SDM dikoordinasikan oleh BKN dan LAN. Akan tetapi, secara substansial kebijakan terkait pengembangan kompetensi dalam Undang- Undang ASN masih mempunyai beberapa kelemahan, yaitu pada aspek keberlanjutan, need assessment, ukuran efektifitas pelatihan dan pengembangan kompetensi, standardisasi sistem exchange, dan kewenangan LAN dan BKN terkait fungsi pelatihan dan pengembangan SDM aparatur publik.
          Secara keseluruhan, Undang- Undang ASN sebagai salah satu instrumen legal formal dalam reformasi birokrasi di Indonesia sudah meletakkan prinsip- prinsip merit system, akan tetapi upaya ini tidak akan berjalan maksimal tanpa ada ukuran capaian yang jelas. Masing- masing fungsi dalam manajemen SDM aparatur pemerintah harus saling terkait dan sinergis untuk mewujudkan birokrasi yang efektif dan inovatif. Ketika menyusun perencanaan rekrutmen, pemerintah harus sudah menyiapkan paket- paket kebijakan lain yang saling terkait dengan pendekatan manajemen strategis, bukan lagi pendekatan administratif. Birokrasi di Indonesia harus mulai meninggalkan paradigma lama yang lebih menyibukkan diri pada personnel administration (administrasi kepegawaian) dan harus memaksimalkan potensi SDM di dalamnya sebagai aset dan kekuatan institusi publik.
        Dalam menyusun perencanaan pelatihan dan pengembangan kompetensi pegawai, sangat diperlukan adanya koordinasi yang sinergis antara bagian yang ada dalam organisasi, terutama untuk memberikan input informasi kinerja pegawai yang merujuk pada kebutuhan akan pelatihan dan pengembangan. Dengan pelatihan dan pengembangan kompetensi ASN yang terencana secara baik dan benar, maka  birokrasi akan memiliki pegawai yang telah ter-upgrade kompetensinya dan pegawai yang benar- benar membutuhkan pengembangan kompetensi sesuai dengan porsinya. Pelatihan dan pengembangan kompetensi SDM aparatur pemerintah harus benar- benar menjadi instrumen untuk memperbaiki dan meningkatkan  pengetahuan, ketrampilan dan sikap perilaku Aparatur Sipil Negara. 





[1]    Dalam Jui- Lan Wu, The Study of Competency- Based Training and Strategies in the Public Sector:        Experience from Thaiwan, SAGE, 42 (2) 259-271
[2] Dalam Jui- Lan Wu, The Study of Competency- Based Training and Strategies in the Public Sector:           Experience from Thaiwan, SAGE, 42 (2) 259-271
[3] Dalam materi kuliah Ely Susanto, Training dan Pengembangan, 2016
[4]  Dalam materi kuliah Ely Susanto, Training dan Pengembangan, 2016
[5]  Pan S. Kim, Human Resource Management Reform in the Korean Civil Service, Administrative Theory &               Practice, Vol. 22, No. 2, 2000: 326-344.
[6]    Pan S. Kim, Human Resource Management Reform in the Korean Civil Service, Administrative Theory &             Practice, Vol. 22, No. 2, 2000: 326-344.






Daftar Pustaka:
Kim, Pan. S, Human Resource Management Reform in the Korean Civil Service,   Administrative Theory & Practice, Vol. 22, No. 2, 2000: 326-344.
Wu, Jui- Lan, The Study of Competency- Based Training and Strategies in the Public Sector:       Experience from Thaiwan, SAGE, 42 (2) 259-271..

Internet & Referensi lain:
Ely Susanto, Materi kuliah MSDM Sektor Publik: Training dan Pengembangan, 2016
www.bkn.go.id , diakses pada 14 April 2016